UPACARA ADAT "KATIANA"

       Upacara masa hamil pada suku bangsa Pamona ini dalam bahasa daerahnya disebut "Katiana", yaitu upacara selamatan kandungan pada masa hamil yang pertama dari suatu perkimpoian seorang ibu. Upacara Katiana ini biasanya dilakukan apabila kandungan itu sudah berumur 6 atau 7 bulan, di mana kandungan dalam perut sang ibu sudah mulai nampak .

     Maksud Penyelenggaraan Upacara Maksud utama dari pada penyelenggaraan upacara Katiana ini adalah keselamatan baik untuk kesalamatan ibu, rumah tangga, dan khususnya tertuju kepada keselamatan bayi di dalam kandungan. Artinya bahwa dengan upacara ini didoakan agar bayi di dalam kandungan sang ibu dapat tumbuh dengan subur, sempurna, dan tidak banyak mengganggu kesehatan sang ibu. Di balik upacara tersebut maka secara psikologis, memberikan pegangan bagi sang ibu dan seluruh sanak kerabat yang dapat dijadikan pegangan yang kuat selama dalam masa kehamilannya agar tetap tabah dan kuat menghadapi hal-hal yang cukup kritis dalam kurun waktu 9 bulan itu. Hal ini berarti suatu dorongan dan motivasi bagi sang ibu agar ketenangan tetap melekat dalam jiwanya selama masa hamil.

     Waktu Penyelenggaraan Upacara Di dalam menyelenggarakan upacara, suku bangsa Pamona masih mengenal waktu-waktu yang baik dan waktu yang tidak baik. Karena itu, dalam kaitannya dengan upacara Katiana ini ia harus memperhitungkan waktu-waktu yang baik. Dalam hal ini yang berperan menentukan waktu adalah para dukun. Dukun atau topopanuju (Pamona) inilah yang dapat mengetahui apakah kandungan ini sudah berumur 6 atau 7 bulan, dan sekaligus menentukan waktu penyelenggaraan upacara.Biasanya yang menjadi dasar perhitungan mengenai penentuan waktu ini adalah keadaan bulan di langit. Apabila bulan di langit adalah bulan berisi (7 sampai 15) berarti waktunya cukup baik, tetapi apabila bulan di langit sudah berkurang (16 sampai dengan 30), maka waktu ini dianggap kurang baik. Hal ini dikaitkan dengan anggapan agar bayi nanti yang akan lahir dan tumbuh sampai dewasa akan tetap cerah, yaitu secerah dengan terangnya bulan ke 7 sampai bulan ke 15 di atas langit itu.

     Tempat Penyelenggaraan Upacara Upacara diselenggarakannya di rumah orang tua sang ibu yang sedang hamil. Perlu diketahui bahwa sistem kekerabatan (kesatuan hidup setempat) bagi suku bangsa Pamona, apabila seorang anak gadis yang sudah kimpoi, maka suaminya harus tinggal bersama menetap di rumah orang tua istrinya. Biasanya sebelum upacara diselenggarakan di rumah orang tua dari ibu yang hamil, maka diadakan persiapan seperlunya antara lain mengundang seluruh kerabat kedua belah pihak, baik yang jauh maupun yang dekat, di samping mengundang para tetangga dekat atau kenalan-kenalan lainnya.

     Penyelenggaraan Upacara Pada penyelenggaraan upacara ini maka petugas inti adalah topopanuju (dukun) yang merupakan keahliannya. Topopanuju ini adalah seorang perempuan yang sudah berumur (lebih dari 50 tahun). Dialah sebagai petugas inti yang menentukan jalannya upacara ini. Di samping itu, ia juga didampingi oleh orang-orang tua kampung terutama sanak keluarga yang semuanya terdiri atas perempuan yang sudah berkeluarga. Selain itu juga didampingi oleh tokoh adat setempat. Kadang-kadang dalam penyelenggaraan upacara Katiana ini seluruh kerabat baik yang jauh maupun yang dekat diundang untuk menghadiri upacara ini. Karena itu, biasanya diadakan persiapan-persiapan upacara, apalagi jika yang diupacarai adalah anak seorang bangsawan atau anak raja.

     Pihak-pihak yang terlibat dalam UpacaraPihak-pihak yang terlibat dalam upacara ini adalah topopanuju, tokoh-tokoh adat, sanak keluarga baik yang bertempat tinggal dekat maupun jauh, ibu-ibu rumah tangga di desa setempat, dan tua-tua desa. Bahkan biasanya secara spontan seluruh orang tua yang mendengar berita akan diadakannya upacara ini akan hadir. Jadi, jelas bahwa kerukunan hidup dan spontanitas sosial kemasyarakatan dan kehidupan gotong-royong pada suku bangsa Pamona ini sangat tinggi.

Persiapan dan Perlengkapan Upacara

      Sebelum upacara ini dimulai maka diadakan persiapan dan perlengkapan upacara yang diperlukan. Persiapan di sini meliputi pengadaan materi dan alat-alat yang diperlukan atau pantangan-pantangan (tabu) yang perlu dihindari. Alat-alat upacara di sini adalah:

* seperangkat sirih pinang (tembakau, sirih, kapur, dan gambir)
* seperangkat piring-piring adat
* alat tumbuk padi yaitu alu
* tikar (boru) yang terbuat dari daun pandan
* satu ruas bambu yang diisi dengan air jernih
* ruangan upacara yang lantainya harus dari bambu

Jalannya Upacara

      Apabila seluruh persiapan dan perlengkapan upacara telah siap dan hari yang telah ditetapkan oleh dukun telah tiba, maka upacara Katiana tersebut segera dimulai dengan tahap-tahap pelaksanaannya sebagai berikut:

* Ibu yang mengandung (yang diupacarai) mengambil tempat di ruangan upacara, yaitu di lantai yang terbuat dari anyaman bambu. Di dampingi oleh suami, seluruh sanak keluarga (ibu-ibu) baik dari pihak suami maupun dari pihak istri. Dukun tersebut harus berada di samping ibu yang diupacarai dengan didampingi oleh tokoh adat setempat, sedangkan lainnya (para undangan) mengambil tempat di sekitar ruangan upacara bahkan di sekitar rumah. Rumah suku Pamona adalah rumah panggung.
* Ibu yang diupacarai tidak diperkenankan memakai baju, rok, dan celana dalam kecuali memakai sarung yang diikat pada bagian atas buah dada, sedangkan toponuju memakai pakaian adat (mbesa) demikian pula tokoh adat yang ada. Alat-alat perlengkapan upacara seperti seperangkat sirih pinang, seperangkat piring adat, alu, boru (tikar), ruas bambu yang berisi air jernih, lemon suanggi (sejenis sirih), dan bunga pinang. Alat-alat perlengkapan tersebut diletakkan di depan sang ibu yang diupacarai.
* Setelah segalanya sudah siap maka upacara Katiana inipun dimulai. Toponuju memulai mengambil ruas bambu yang berisi air jernih sambil membaca mantera-mantera, sedangkan seluruh alat-alat perlengkapan upacara lainnya harus ditempatkan di depan ibu yang diupacarai. Setelah dukun membaca mantera-mantera, maka air yang ada di dalam bambu itu disiramkan ke kepala sang ibu secara perlahan-lahan sebanyak 7 kali. Bagi yang menyaksikan upacara ini harus mengikutinya dengan khusuk di tempat masing-masing. Setelah dukun menyiram air di kepala sang ibu, maka tokoh adat yang mendampinginya juga mengambil bagian untuk menyiram air di kepala sang ibu, demikian pula ibu (orang tua yang diupacarai) serta ibu-ibu kerabat lainnya. Setelah itu upacara puncak dianggap selesai.
* Setelah puncak upacara itu selesai, maka biasanya dilanjutkan dengan makan atau minum-minum. Bagi keluarga bangsawan biasanya makanan yang disajikan cukup besar karena memotong kerbau, tetapi hal ini tidak mengikat karena dapat saja cukup dengan minum saja.

Pantangan-pantangan yang harus dihindari

     Pantangan-pantangan yang harus dihindari adalah semua benda yang bergantung harus diturunkan, belanga yang tertutup oleh penutup belanga harus dibuka, tikba yang tertelungkup harus dibuka, peserta upacara harus membuka cincin, gelang, rantai, dan semua yang mengikat dirinya harus dilonggarkan. Selain itu, sang ibu yang diupacarai dan suaminya serta kedua orang tuanya baik pihak perempuan maupun pihak laki-laki tidak diperkenankan/tidak boleh marah-marah (harus selalu merasa gembira), dilarang memotong/menyembelih binatang apapun juga, tidak boleh mengejek orang yang cacat.

     Satu hal yang harus diperhatikan oleh sang ibu yang diupacarai adalah bahwa selama dia mengandung sampai melahirkan nanti harus selalu membawa lemon suanggi (lemon suanggi ini diberikan oleh Toponuju) pada waktu upacara Katiana ini diselenggarakan. Lemon suanggi ini tidak boleh lepas dari sang ibu, jadi harus selalu dibawa. Apabila pantangan-pantangan tersebut di atas dilanggar, maka akan menimbulkan akibat-akibat bagi sang ibu dan keluarganya, yang paling parah ialah akibat bagi sang bayi yang ada dalam kandungan. Akibat itu adalah susah melahirkan, jika lahir dia akan cacat atau sang ibu dan keluarganya mendapat musibah. Karena itu segala pantangan harus dihindari sebaik-baiknya. Sebaliknya kepada sang ibu dianjurkan selalu membawa lemon suanggi kemana saja dan harus melekat pada badannya, karena dalam lemon itu dianggap oleh suku bangsa Pamona sebagai alat penolak bahaya, penolak gangguan setan atau gangguan mahluk halus dan gangguan lainnya.

Lambang-lambang makna atau makna yang terkandung dalam unsur-unsur Upacara

     Salah satu lambang yang paling dihormati oleh suku bangsa Pamona terutama dalam upacara daur hidup khususnya upacara perkimpoian adalah Sirih Pinang. Sirih pinang ini harus dimiliki dan dihormati oleh setiap orang di wilayah Pamona. Sirih pinang merupakan lambang kesucian, lambang pergaulan, lambang menjalin-hubungan kekerabatan, dan mempererat tali silaturahmi. Karena itu pada setiap upacara daur hidup termasuk upacara Katiana ini selalu dan diharuskan adanya sirih pinang ini sebagai alat kelengkapan upacara. Maksudnya agar bayi yang lahir tetap suci dalam perjalanan hidupnya kelak, juga diharapkan dapat menjadi tumpuan harapan untuk sampai pada jenjang perkimpoian nanti dan menurunkan keturunan yang baik-baik, dapat bergaul dengan masyarakat lingkungannya kelak, sedangkan lambang alu adalah bahwa pekerjaan orang khususnya wanita adalah menumbuk padi. Hal ini dikaitkan dengan pekerjaan dan kehidupan yang lebih di waktu mendatang, dan air yang digunakan dalam upacara ini adalah melambangkan agar di dalam melahirkan nanti tidak mengalami kesulitan, tetapi sebaliknya akan lancar seperti air mengalir.

http://www.facebook.com/groups/pamona/
lebih jelasnya... »»  

KAJI ULANG PENGERTIAN KATA "POSO"

      Kontroversi tentang siapa “orang Poso” acapkali mencuat dan berakibat negatif pada relasi sosial antar suku asli Poso, anak suku, dan juga pendatang vesus non-pendatang. Diskursus tentang ini kadang memanas terutama menjelang pesta politik di Kabupaten Poso dan hasilnya : menyerhanakan identitas orang Poso itu sendiri.

Asal mula nama Kota Poso

     Ada berbagai versi yang terkait dengan asal mula penyebutan “Poso” untuk kota Poso, namun secara umum dapat dikelompokan atas dua : pertama Poso berarti Pecah/terbelah dan kedua Poso berarti kokoh/teguh. Walaupun berbeda tafsirnya, tetapi kedua-duanya sepakat bahwa kata “Poso” adalah bahasa Pamona (salah satu suku asli di Kabupaten Poso).
(1) Versi Pertama : Poso = Terbelah/Terpecah
Kelompok ini merujuk pada terjemahan Poso yang diambil dari kata Maposo. Secara leterleg, kata Maposo berarti remuk terbelah kemudian terjadi perubahan makna sebagai terbelah saja. Perubahan ini untuk memudahkan pemahaman bahwa kota Poso terbelah oleh sungai yang mengalir dari Tentena ke Poso (sungai Poso).
(2) Versi Kedua : Poso = Teguh/Kokoh
Kelompok ini merujuk pada kata Poso’o dalam bahasa Pamona yang berarti Teguh, Kokoh. Pada awalnya, pemerintahan Poso berada di Saeo (baca : saeyo) yang berarti sehari (sekarang menjadi Kelurahan Sayo). Tempat ini disebut saeyo karena perjalanan dari Tentena menuju lokasi rumah Raja memakan waktu sehari perjalanan dengan pedati. Saat tiba dirumah Raja biasanya tamu yang membawa pedati diperintahkan untuk melepas kekang sapi/kerbaunya dan mengkat sapi di satu tempat (sekarang lapangan Kasintuwu Poso) dengan menanam patok yang kokoh (dalam bahasa Pamonanya Poso’o). Pada perjalanan sejarah Poso, lokasi tempat memasang Patok (lapangan Kasintuwu menjadi pusat perkantoran Ibu kota Poso (sebelum pindah kelokasi sekarang)

Telaah “Pecah vs Kokoh”

     Pada masa sekarang ini orang di Poso (termasuk Wikipedia) menggunakan rujukan pertama (Poso = terbelah), sebagai asal mula penyebutan Poso. Selain itu, ada yang menyebut Poso sebagai terpecah-belah karena terbagi atas beberapa suku asli yang bahasanya berbeda, dan seringkali saling-serang (masa-masa sebelum masuknya agama). Terpecah belah dipahami sebagai kepelbagaian anak suku Pamona yang dialek bahasanya berbeda. Beberapa kelemahan teori ini :
(1) Ditinjau dari asal katanya, “Maposo”, bukan “Poso” dan tidak ada kata Poso. Sehingga kata Poso tidak memiliki pengertian apapun (asal kata direduksi menjadi asal kata lagi).
(2) Ditinjau dari pengertian Poso terbelah oleh sungai Poso. Sungai Poso merupakan salah satu sungai terbesar di Sulawesi yang berhulu di Danau Poso, dan bermuara di Teluk Poso. Ketiga tempat ini (Danau Poso, Sungai Poso, dan Teluk Poso) lebih dahulu ada disbanding Kota Poso dan ketiganya tidak dipahami sebagai Danau yang terbelah. Sungai yang terbelah, ataupun teluk yang terbelah,
(3) Ditinjau dari segi peperangan antar suku asli (Pamona, Mori, Bada, Napu). Dari awalnya kata “Poso” diambil dari bahasa suku Pamona sehingga lemah untuk mengatakan Poso sebagai terbelah untuk menggambarkan perpecahan antar suku, yang nota bene berbeda bahasa.
(4) Ditinjau dari letak Demografis Kota Poso mula-mula
Pada awal pemerintahan Poso (Masa Raja Talasa) kedudukan rumah Raja di (Sayo) dan masyarakatnya berada disekitarnya. Sedangkan masyarakat pendatang, berada di Kampung Jawa (sekarang Kelurahan Bonesompe, Kampung Lage (sekarang Kelurahan Lombugia), Kampung Gorontalo (sekarang Kelurahan Lawanga). Semua masyarakat ini berdomisili di sisi yang sama di pinggir sungai Poso. Sedangkan bagian sisi yang lain berupa rawa (tahun 80-an di jadikan lahan persawahan dan tahun 90-an di jadikan lokasi perkantoran yang baru) Karenanya Poso “tidak terbelah oleh sungai”. Jika rujukannya pada salah satu anak suku Pamona (Pebato) yang berada (+ 20 km dari Pusat Pemerintahan masa itu) rasanya kurang tepat karena jalur kantong ekonomi masyarakatnya tidak melintas kota Poso melainkan Jalur Pesisir Poso-Dewua-Sulewana) selanjutnya ke Pendolo (Lamusa).
Melihat lemahnya rujukan di atas, maka alternatifnya adalah Poso = Kokoh.

“Poso = Terbelah” stigmatisasi yang harus di hapus

      Istilah Poso = terbelah dikampanyekan secara luas saat konflik Poso untuk memahami mengapa orang Poso bisa konflik berkepanjangan. Terminologi seperti ini, terkesan permisif atas apa yang terjadi di Poso dan tidak membangun solusi untuk menghindari ataupun memperbaik. Kondisi/persepsi seperti ini menjadi stigma bahwa orang Poso suka berkonflik. Karenanya perlu perubahan stigma melalui perbaikan persepsi tentang Orang Poso.

(Tulisan ini dimuat Penulis di LP2M POSO)
lebih jelasnya... »»  

PAMONA-POSO'O

PAMONA=Pakaroso Mosintuwu Napolanto.

POSO'O =Ikatan/Pengikat

      Telengko rayaku damangauki sakodi nuntu anu kuncani mangkono ndapampoto'o lipu pamona pai poso'o...pamona terdiri dari beberapa sub suku yg ada di lemba poso'o..yaitu Pebato Pu'umboto,pebato wingke ntasi,lage,puselemba,onda'e,lamusa pai pu'umboto...
      Pamona di petakkan dengan sendirinya setelah pemberian nama pada label pemerintahan yang tidak dipertimbangkan dulu dampak yg akan terjadi pada pengenalan terhadap keberadaan suku pamona itu sendiri.seperti penamaan terhadap nama-nama kecamatan,sehinggah opini yg berkembang saat ini pamona hanya wilayah kecamatan pamona bersaudara.
     Sangat di sayangkan para pendahulu yang berkuasa di birokrat yg berasal dari pamona tidak memperjuangkan perubahan penamaan tersebut,sehingga sam[pai saat ini,opini tersebut sudah menjadi suatu hal yg kelihatanya sulit untuk di hilangkan...namun dengan sedikit ulasan saya ini,kiranya dapat memberikan apresiasi baru untuk generasi muda pamona untuk secara bersama-sama memikirkan bagaimana kiranya perjuangan kita untuk kembali menyatukan penamaan tersebut kemvbali pada pemberian nama sesuai dengtan nama wilayah tersebut.
     Kecamatan lage,kecamatan pemekaran baru pamona utara menjadi kecamatan puselemba sudah sangat tepat,kiranya penamaan kecamatan lain dapat terealisasi seperti puselemba...hal ini untuk lebih mempermudah generasi penerus untuk dapat memahami sejauh mana dan bagaimana hubungan sejarah sebenarnya.
     Masih banyak hal-hal yang perlu untuk di gali kembali,dan di sosialisasikan kepada masyarakat umum,terlebih generasi muda pamona poso'o.
     Penamaan poso oleh belanda pada saat berkuasa di indonesia,adalah untuk mempermuda penyebutan nama poso dari poso'o.
     Munculnya nama poso'o setelah para mokole dalam setiap perjanjian untuk bertemu selalu menentukan titik temu di poso'o.mengapa dinamakan poso'o,karena poso'o adalah tempat bertemu para mokole mengingat/menambatkan hewan ternak seperti kuda dan sapi yang menjadi sarana transportasi pada saat itu bbertempat di lapangan kasintuwu sekarang ini.setelah di lakukan secara berulang-ulang,pertemuan di tempat tersebut dan oleh para mokole dianggap mempunyai nilai persatuan,maka dinamakanlah wilayah poso'o.
     Hal ini dapat kita sinergikan dengan penamaan pamona yang berarti pakaroso mosintuwu napolanto,melalui poso'o sintuwu maroso.sehingga hal ini akan menepis dugaan-dugaan yang mengaitkan penamaan poso dengan apa yg sudfah terjadi di poso.sehingga ada opini yang berkembang poso hancur,poso rusuh karena namanya saja sudah poso.memang sangat disayangkan,beberapa penamaan tempat-tempat sakral di poso sudah tidak sesuai dengan nama sebenarnya,antara lain penamaan terhadap tempat pertemuan masyarakat atau lebih dikenal dengan banua mpolimbu di sebut dengan baruga..sedangkan nama sebenarnya sesuai pemberian nama pada saat didirikan pertama kali di tangkura oleh papa wunte adalah banua marate,dimana banua marate lebih di kenal dan difungsikan pada saat itu sebagai tempat pertemuan masyarakat pamona dalam membicarakan tentang berbagai hal yang berhubungan dengan adat istiadat masyarakat pamona.Namunoleh perkembangan pemerintahan di kabupaten poso khususnya,di rubah menjadi baruga yang di adopsi dari nama tempat pertemuan masyarakat salah satu suku di sulawesi selatan yaitu waruga.
      Demikian sedikit pengantar dari saya untuk membuka wawasan kita bersama,dalam membangun daerah yang kita cintai bersama,dengan harapan kiranya para intelektual muda dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan nilai-nilai sejarah yang ada di lemba sintuwu maroso ini....

MAROSO.......
lebih jelasnya... »»  

Tugas Kuliah

Mikrokontrler Isi
lebih jelasnya... »»